Nasib Pemegang Saham Saat Delisting: Regulasi, Risiko, dan Pilihan yang Tersedia

Daftar Isi

Delisting saham adalah salah satu momen paling krusial dalam dunia investasi. Bagi pemegang saham, kabar delisting sering menimbulkan kekhawatiran: bagaimana nasib modal yang sudah ditanamkan, apakah masih bisa dijual, atau justru hilang begitu saja.

Fenomena ini tidak asing di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dari tahun ke tahun, selalu ada perusahaan yang terpaksa meninggalkan bursa, baik secara sukarela maupun karena dipaksa. Untuk memahami dampaknya, investor perlu mengetahui mekanisme delisting, regulasi yang berlaku, hingga opsi yang dapat diambil.

Pengertian Delisting Saham

Delisting adalah proses penghapusan saham perusahaan dari papan pencatatan BEI. Saham yang sudah delisting tidak lagi bisa diperdagangkan di pasar reguler.

Jenis delisting di Indonesia terbagi dua:

  1. Voluntary Delisting (sukarela)
    Perusahaan secara sadar menarik diri dari bursa, biasanya karena:

    • ingin menjadi perusahaan tertutup (go private),

    • adanya merger atau akuisisi,

    • efisiensi biaya kepatuhan sebagai perusahaan publik.

  2. Forced Delisting (paksa)
    BEI atau OJK memaksa perusahaan keluar dari bursa karena:

    • gagal menyampaikan laporan keuangan,

    • saham disuspensi terlalu lama,

    • kinerja keuangan memburuk atau perusahaan bangkrut,

    • pelanggaran aturan pasar modal.

Regulasi yang Mengatur Delisting di Indonesia

Untuk melindungi investor, delisting diatur oleh:

  • Peraturan BEI Nomor I-N (2024): menjelaskan tata cara delisting dan relisting saham.

  • POJK No. 3/POJK.04/2021: mengatur hak pemegang saham publik, termasuk kewajiban perusahaan melakukan tender offer saat voluntary delisting.

Poin penting bagi pemegang saham:

  • Dalam voluntary delisting, perusahaan wajib membeli kembali saham publik dengan harga wajar.

  • Harga tender biasanya ditentukan berdasarkan valuasi independen atau rata-rata harga pasar sebelumnya.

  • Jika perusahaan tidak menjalankan kewajiban, OJK berhak mengajukan tindakan hukum hingga pembubaran perusahaan.

Nasib Pemegang Saham Saat Delisting

Ketika delisting terjadi, pemegang saham tidak otomatis kehilangan semua investasinya. Namun, pilihan yang tersedia sering kali terbatas dan penuh risiko.

1. Menjual Saham Lewat Tender Offer

Perusahaan atau pemegang saham mayoritas biasanya mengajukan tender offer untuk membeli saham publik.

  • Kelebihan: investor bisa mendapat dana tunai dengan harga relatif wajar.

  • Risiko: harga tender kadang lebih rendah dari ekspektasi pasar.

2. Menjual di Pasar Negosiasi (OTC)

Jika tidak ada tender, saham bisa dijual di pasar over-the-counter.

  • Kelebihan: masih ada peluang melepas saham.

  • Risiko: likuiditas rendah, harga sangat jauh di bawah nilai wajar.

3. Menunggu Likuidasi Aset

Jika perusahaan bangkrut, aset dijual untuk membayar utang.

  • Kreditor mendapat prioritas, baru pemegang obligasi, terakhir pemegang saham.

  • Dalam banyak kasus, pemegang saham tidak mendapat bagian karena aset tidak cukup.

4. Menyimpan Saham dengan Harapan Relisting

Ada perusahaan yang berencana kembali ke bursa setelah perbaikan fundamental.

  • Namun, peluang relisting sangat kecil, proses panjang, dan tanpa kepastian.

5. Menempuh Jalur Hukum

Pemegang saham yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan melalui RUPS atau menggugat ke pengadilan.

  • Proses ini memakan biaya besar dan jarang ditempuh investor ritel.

Risiko Utama yang Harus Dipahami Investor

  • Likuiditas Hilang: saham tidak bisa diperdagangkan di bursa.

  • Penurunan Nilai Drastis: harga saham bisa jatuh hingga mendekati nol.

  • Transparansi Hilang: perusahaan tidak wajib lagi menyampaikan laporan keuangan secara publik.

  • Kerugian Finansial: terutama pada forced delisting karena kinerja perusahaan sudah bermasalah.

  • Dampak Psikologis: ketidakpastian menimbulkan panik, terutama bagi investor individu.

Contoh Kasus Delisting di Indonesia

Beberapa kasus nyata bisa menjadi pelajaran:

  • PT Aqua Golden Mississippi Tbk (AQUA, 2011):
    Melakukan voluntary delisting. Tender offer diberikan Rp 500.000 per saham, lebih tinggi setelah negosiasi dengan investor minoritas.

  • PT Merck Tbk (MERK, 2017):
    Delisting setelah akuisisi oleh Merck KGaA. Harga buyback ditentukan lewat proses panjang untuk memastikan wajar bagi pemegang saham minoritas.

  • PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB, 2019):
    Delisting setelah diakuisisi Semen Indonesia. Investor publik ditawari buyback dengan harga yang relatif adil.

Untuk tahun 2025, BEI masih mengawasi sejumlah emiten yang berstatus suspensi panjang. Investor bisa mengecek daftar terbaru melalui situs resmi www.idx.co.id.

Strategi Investor Menghadapi Risiko Delisting

  1. Diversifikasi portofolio – jangan menaruh seluruh dana di satu saham.

  2. Pantau laporan keuangan – perusahaan yang tidak patuh biasanya rawan suspensi dan delisting.

  3. Ikuti pengumuman BEI & OJK – selalu cek keterbukaan informasi resmi.

  4. Gunakan hak di RUPS – terutama saat ada rencana voluntary delisting.

  5. Konsultasi dengan penasihat keuangan – untuk menentukan apakah tender offer layak diterima atau lebih baik menjual di pasar negosiasi.

Posting Komentar