Penyebab Saham Delisting: Risiko yang Harus Dipahami Investor

Daftar Isi

Bagi seorang investor, saham yang mengalami delisting bisa menjadi mimpi buruk. Delisting artinya saham tersebut dihapus dari pencatatan Bursa Efek Indonesia (BEI), sehingga tidak lagi diperdagangkan di pasar reguler.

Meski sering dikaitkan dengan kebangkrutan, delisting tidak selalu berarti perusahaan gagal. Ada kalanya keputusan delisting justru datang dari manajemen perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, penting memahami apa saja penyebab saham delisting, baik yang bersifat sukarela maupun terpaksa, agar investor dapat mengantisipasi risikonya.

Apa Itu Delisting Saham?

Delisting adalah proses penghapusan pencatatan saham di bursa. Setelah dihapus, saham tersebut tidak lagi diperdagangkan di pasar reguler, melainkan hanya bisa diperjualbelikan di pasar negosiasi dengan likuiditas sangat terbatas.

Di Indonesia, ketentuan mengenai pencatatan dan penghapusan saham diatur oleh:

  • Peraturan Bursa Efek Indonesia Nomor I-I tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas.

  • Peraturan OJK Nomor 77/POJK.04/2017 dan aturan terkait keterbukaan informasi perusahaan publik.

Delisting terbagi menjadi dua: voluntary delisting (sukarela) dan forced delisting (paksa).

Penyebab Saham Delisting

1. Delisting Sukarela (Voluntary Delisting)

Delisting sukarela dilakukan atas permintaan perusahaan itu sendiri. Beberapa alasan utamanya adalah:

  • Menjadi Perusahaan Tertutup (Go Private)
    Perusahaan memilih keluar dari bursa agar dapat lebih leluasa dalam mengambil keputusan bisnis tanpa sorotan publik. Status privat juga mengurangi biaya kepatuhan, seperti kewajiban laporan keuangan publik dan biaya tahunan pencatatan saham.

  • Efisiensi Biaya dan Operasional
    Bagi perusahaan dengan kapitalisasi kecil, biaya pencatatan di bursa bisa lebih besar daripada manfaat yang diperoleh. Dalam kondisi ini, delisting dianggap lebih rasional.

  • Merger atau Akuisisi
    Jika perusahaan diakuisisi atau bergabung dengan entitas lain, sahamnya biasanya ditarik dari peredaran. Investor publik biasanya akan menerima tender offer, yaitu penawaran pembelian kembali saham dengan harga tertentu.

Contoh di Indonesia:

  • PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) delisting pada 2019 setelah diakuisisi Mitsubishi UFJ Financial Group.

  • PT Unilever Indonesia Tbk sempat merencanakan delisting sukarela pada 2020 sebagai bagian dari konsolidasi global Unilever.

2. Delisting Paksa (Forced Delisting)

Forced delisting dilakukan oleh BEI jika emiten tidak lagi memenuhi syarat pencatatan. Inilah bentuk delisting yang paling merugikan investor ritel. Penyebabnya antara lain:

  • Kinerja Keuangan Buruk atau Kebangkrutan
    Perusahaan dengan kerugian terus-menerus, ekuitas negatif, atau tidak mampu melunasi utang berpotensi dikeluarkan dari bursa.

    • Contoh: PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) resmi delisting pada 2019 karena kerugian besar dan gagal bayar utang.

    • Contoh: PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO) delisting pada 2018 setelah dinyatakan pailit.

  • Suspensi Berkepanjangan
    Jika saham disuspensi terlalu lama tanpa ada penyelesaian, bursa berhak mendelisting. Suspensi biasanya terjadi karena perusahaan gagal memenuhi kewajiban pelaporan atau ada permasalahan serius dalam operasional.

  • Pelanggaran Aturan Bursa dan OJK
    Emiten wajib menyampaikan laporan keuangan tepat waktu, menjaga keterbukaan informasi, serta mematuhi tata kelola perusahaan. Pelanggaran berat dapat berujung delisting.

    • Contoh: PT Hanson International Tbk (MYRX) delisting pada 2020 setelah gagal melaporkan keuangan dan tersangkut kasus hukum.

  • Tidak Memenuhi Syarat Teknis
    BEI mensyaratkan jumlah minimum pemegang saham publik, harga saham minimum (Rp50 per saham), serta kapitalisasi pasar tertentu. Jika syarat ini tidak dipenuhi dalam waktu lama, saham terancam delisting.

Proses Delisting di Bursa Efek Indonesia

Proses delisting biasanya melewati beberapa tahap:

  1. Peringatan dan Suspensi
    Bursa memberi peringatan atau menghentikan sementara perdagangan saham.

  2. Masa Perbaikan (12–24 bulan)
    Emiten diberi kesempatan memperbaiki kondisi, misalnya restrukturisasi keuangan atau melengkapi kewajiban laporan.

  3. Keputusan Delisting
    Jika tidak ada perbaikan, BEI mengumumkan keputusan penghapusan saham.

  4. Tender Offer (untuk voluntary delisting)
    Perusahaan wajib menawarkan pembelian kembali saham publik dengan harga wajar.

  5. Penghapusan Resmi
    Saham resmi dihapus dan hanya bisa diperjualbelikan melalui pasar negosiasi.

Dampak Delisting Bagi Investor

Delisting berdampak serius bagi investor, terutama yang tidak siap menghadapi risiko ini:

  • Nilai investasi tergerus karena harga saham biasanya jatuh tajam menjelang delisting.

  • Likuiditas hilang, investor sulit menjual sahamnya karena pasar terbatas.

  • Ketidakpastian hukum dan informasi, terutama jika perusahaan tidak transparan dalam menyampaikan kondisi.

  • Tender offer sebagai kompensasi (hanya pada voluntary delisting), namun harganya sering kali lebih rendah dari ekspektasi investor.

Cara Investor Menghindari Risiko Saham Delisting

Agar tidak terjebak dalam saham berisiko tinggi, investor sebaiknya melakukan langkah-langkah berikut:

  • Pantau laporan keuangan untuk melihat kondisi fundamental perusahaan.

  • Cermati notasi khusus BEI, misalnya kode “X” untuk masalah keuangan atau “E” untuk ekuitas negatif.

  • Diversifikasi portofolio agar tidak terjebak di satu saham saja.

  • Ikuti berita resmi BEI dan OJK, terutama terkait suspensi atau potensi delisting.

Tabel Ringkasan Penyebab Saham Delisting

Jenis Delisting Penyebab Utama Contoh Emiten di Indonesia
Sukarela (Voluntary) Go private, merger/akuisisi, efisiensi biaya BDMN (2019), Unilever (rencana 2020)
Paksa (Forced) Kerugian besar, ekuitas negatif, suspensi panjang, pelanggaran aturan, gagal penuhi syarat teknis BTEL (2019), TRIO (2018), MYRX (2020)

Posting Komentar