MSCI Kaji Ulang Metodologi Free Float Saham RI: Dampak Besar untuk Pasar Modal Indonesia
Morgan Stanley Capital International (MSCI) tengah meninjau ulang cara menghitung free float saham-saham Indonesia, sebuah langkah yang bisa mengubah wajah pasar modal nasional. Kajian ini sedang dalam tahap konsultasi publik hingga 31 Desember 2025, dan hasil final akan diumumkan pada 30 Januari 2026, sebelum diterapkan pada rebalancing indeks Mei 2026.
Langkah MSCI ini muncul karena bobot saham Indonesia dalam indeks global mereka terus menyusut. Dari kisaran 5% beberapa tahun lalu, kini bobot saham RI hanya sekitar 1% pada 2025. Penurunan drastis tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang transparansi data kepemilikan publik dan akurasi penghitungan free float yang berlaku saat ini.
Latar Belakang Kajian Ulang MSCI
Selama ini, perhitungan free float saham Indonesia didasarkan pada laporan emiten yang hanya mencakup pemegang saham dengan kepemilikan minimal 5%. Dengan metode ini, saham-saham yang sebenarnya tidak aktif di pasar atau dimiliki oleh kelompok terkait sering kali masih dikategorikan sebagai saham publik.
MSCI menilai hal itu menyebabkan distorsi dalam bobot indeks. Sebagai lembaga yang menjadi acuan global, MSCI menginginkan standar free float Indonesia sejalan dengan praktik internasional, di mana data kepemilikan lebih rinci dan realistis.
Selain itu, pasar modal Indonesia dianggap kurang kompetitif di mata investor asing. Dengan bobot yang semakin kecil di indeks MSCI Emerging Markets, dana asing yang mengikuti indeks (passive funds) ikut menurunkan porsi investasinya di saham Indonesia.
Usulan Metodologi Baru
Dalam proposal terbarunya, MSCI berencana menggunakan data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) sebagai sumber tambahan dalam menghitung free float. Langkah ini dianggap akan memperkuat akurasi karena KSEI memiliki data lengkap tentang kepemilikan investor, baik lokal maupun asing, hingga di bawah batas 5%.
Metodologi yang diusulkan akan menerapkan prinsip “lower of two approaches”, yakni menggunakan nilai free float terendah antara:
- Data resmi laporan emiten (filings atau public disclosures).
- Estimasi data dari KSEI, dengan mempertimbangkan bahwa kepemilikan korporasi (termasuk antarperusahaan dalam satu grup) dan kepemilikan pemerintah dikategorikan sebagai non-free float.
Dengan pendekatan ini, MSCI berharap perhitungan bobot saham menjadi lebih konservatif dan mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya. Namun, dampaknya bisa signifikan terhadap sejumlah saham besar yang saat ini memiliki struktur kepemilikan terkonsentrasi.
Dampak Langsung ke Pasar Saham
Reaksi pasar terhadap pengumuman kajian ini terbilang cepat. Pada 27 Oktober 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok hingga 3,72% di sesi pertama perdagangan dan ditutup sedikit menguat di 8.117 poin.
Saham-saham milik konglomerasi besar dengan free float rendah menjadi sasaran utama aksi jual. Beberapa contohnya antara lain:
- BRPT (Barito Pacific) turun 9,34%
- BREN (Barito Renewables) turun 3%
- CUAN (Petrindo Jaya Kreasi) turun 7,31%
- PTRO (Petrosea) turun 9,44%
- CDIA (Candi Artha Investama) turun 5,36%
Penurunan tajam ini mencerminkan kekhawatiran investor bahwa saham-saham tersebut berpotensi kehilangan bobotnya di indeks MSCI jika metodologi baru diterapkan.
Risiko Outflow Dana Asing
Sekitar 70–80% dari aliran dana asing ke pasar modal Indonesia datang dari investor institusional yang mengikuti indeks MSCI. Jika perhitungan free float baru menurunkan bobot saham Indonesia, maka dana-dana tersebut bisa melakukan rebalancing dengan menjual sebagian kepemilikannya di saham RI.
Kondisi ini berpotensi menimbulkan outflow miliaran dolar AS, terutama menjelang pengumuman final MSCI pada Januari 2026 dan rebalancing pada Mei 2026. Dampaknya bisa menekan likuiditas pasar dan menimbulkan fluktuasi jangka pendek di IHSG.
Namun, di sisi lain, tekanan ini juga dapat menjadi momentum bagi investor domestik untuk masuk ke saham-saham berfundamental kuat dengan harga yang terdiskon akibat koreksi pasar.
Respons Regulator dan Emiten
Menanggapi langkah MSCI, Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah meninjau ulang aturan batas minimum free float. Saat ini batas tersebut berada pada level 7,5–10%, namun dalam waktu dekat berpotensi dinaikkan secara bertahap hingga 20%.
Tujuan kebijakan ini adalah untuk memperluas kepemilikan publik, meningkatkan likuiditas saham, dan menjaga posisi Indonesia tetap kompetitif di indeks global.
Bagi perusahaan publik, kajian MSCI ini menjadi peringatan agar lebih transparan dalam pelaporan kepemilikan saham. Emiten juga diharapkan melakukan langkah-langkah strategis seperti menambah porsi saham publik, mengurangi saham treasury, atau melakukan penawaran umum sekunder (secondary offering) untuk menjaga kriteria free float sesuai standar baru.
Implikasi Strategis Bagi Investor
Investor disarankan untuk lebih aktif memantau perkembangan kebijakan MSCI dan kebijakan regulator domestik. Beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan antara lain:
- Diversifikasi aset ke saham dengan free float tinggi dan likuiditas kuat.
- Analisis ulang portofolio, khususnya pada saham yang dimiliki oleh grup atau keluarga besar dengan struktur kepemilikan terkonsentrasi.
- Mengikuti perkembangan konsultasi publik MSCI, terutama respons dari OJK dan BEI.
- Memanfaatkan koreksi pasar untuk akumulasi saham fundamental yang tertekan sementara.
Investor juga perlu memahami bahwa perubahan metodologi ini tidak serta-merta negatif. Dalam jangka panjang, penerapan data yang lebih akurat justru dapat meningkatkan kredibilitas pasar modal Indonesia di mata global.
Potensi Arah Pasar ke Depan
Apabila MSCI memutuskan menerapkan metodologi baru, dampak jangka pendek memang bisa menimbulkan volatilitas tinggi. Namun, jika regulator mampu menyesuaikan kebijakan dengan cepat, Indonesia berpeluang memperbaiki posisi bobotnya di indeks dalam jangka menengah.
Sejumlah analis memperkirakan bahwa perbaikan transparansi dan peningkatan free float bisa menjadi katalis positif bagi IHSG di semester kedua 2026, seiring dengan potensi masuknya kembali investor institusional global.
Langkah MSCI ini menjadi ujian bagi pasar modal Indonesia — apakah mampu beradaptasi dengan standar global dan menjadikan pasar lebih sehat, likuid, dan terpercaya bagi investor dunia.

Posting Komentar